Buchtar Tabuni dan Kepala Suku Besar

Sudah 10 Tahun Lukas Enembe pimpin kabupaten puncak jaya sebagai perpanjangan tangan kolonial NKRI di Puncak.

Berapa banyak masyarakat adat yang di bunuh oleh Militer Kolonial NKRI di Puncak Jaya?

Sudah 10 Tahun Lukas Enembe pimpin provinsi Papua sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah kolonial NKRI.

Berapa banyak masyarakat adat di bunuh oleh Militer Kolonial NKRI?

Apa indikatornya perlindungan terhadap masyarakat adat Papua yang di bunuh oleh Militer Kolonial NKRI selama 20 tahun Lukas Enembe menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial NKRI di Papua sehingga Lukas Enembe di angkat sebagai Kepala suku besar orang Papua?

Sebagai orang Papua kita solidaritas kepada Lukas Enembe tetapi sebagai pejabat Kolonial NKRI yang sedang memperpanjang sistem NKRI di atas kedaulatan Bangsa dan Negara West Papua kita tetap Kritisi

Dalam Budaya Melanesia Tidak Ada Kepala Suku Besar, Kepala Suku Sedang, dan Kepala Suku Kecil

Dari nenek-moyang sampai kedatangan para misionaris sebagai pintu kepada penjajahan dan di era penjajahan hari ini, dalam konteks Melanesia, tidak pernah ada Kepala Suku Besar, Kepala Suku Sedang dan Kepala Suku Kecil. Di pegunungan dikenal sistem “Ap Nggok” atau Big Men, di mana para Kepala Suku menjadi pimpinan berdasarkan apa yang mereka telah dan dapat persembahkan atau dedikasikan untuk marga, klen atau suku mereka.Di pesisir dan dataran rendah dikenal sistem kerajaan kecil (ondoafi dan ondofolo), di mana para ondoafi atau ondofolo menjalankan kepemimpinan sebagai raja di dalam klen atau suku atau wilayah kekerabatan yang bersangkutan.

Sementara konsep kepemimpinan piramidal yang menempatkan satu oranf di pucuk sebagai yang besar, yang artinya yang lainnya menjadi yang sedang dan yang kecil ialah konsep yang dipaksakan para penjajah, dalam rangka mengoperasikan interaksi antara para penjajah dengan kepemimpinan Masyarakat Adat (MADAT) di Melanesia dan di berbagai tempat di dunia.

Budaya modern atau pengaruh barat menjangkau kawasan Melanesia setelah mereka telah hidup dalam negara-bangsa, di mana struktur sosial dan organisasi pemerintahan mereka ialah dari atas ke bawah, berhadapan dengan MADAT yang bersifat egaliter, di mana kepemimpinan dijalankan secara kolektif kolegial, dan dalam bentuk piramidal yang sangat terbatas. Melihat itu, mereka berupaya membuat struktur sosial-masyarakat di luar struktur asli yang ada, agar mempermudahkan mereka dalam melakukan deal-deal politik dan ekonomi.

Maka mereka mengangkat banyak raja-raja dan kepala-kepala suku, Dewan Adat di tingkat pemerintahan mereka, dan struktur adat disusun berdasarkan struktur pemerintahan mereka. Dengan pemikiran mereka, maka mereka juga menciptakan raja kecil dan raja besar, kepala suku kecil dan kepala suku besar, kepala suku desa, kepala suku kecamatan, kepala suku kabupaten dan kepala suku provinsi, dan kepala suku nasional. Itulah sebabnya kita sering dengar hari ini, ada orang Papua yang mengaku diri sebagai Kepala Suku Besar.

Entah apanya yang besar merupakan konsep yang masih kabur. “Besar” dari sisi ruang pengakuan, besar dari sisi pengaruhnya, besar dari sisi wilayah administrasi pemerintahan modern atau besar secara politik?

Yang jelas, dalam MADAT Koteka di pegunungan Tengah New Guinea tidak pernah mengenal Kepala Suku Kecil, Kepala Suku Besar dan Kepala Suku Sedang. Tidak pernah dikenal Kepala Suku Desa, Kepala Suku Kabupaten, Kepala Suku Provinsi.

Maka kita harus bertanya kepada diri sendiri, baik sebagai anggota MADAT maupun yang mengaku diri sebagai Kepala Suku Besar ini konsep siapa dan dimunculkan untuk tujuan apa?

Tetaplah Tersenyum Kepada setiap org yang Membencimu, Karena Mereka akan sadar suatu Waktu

Bangga Memilikimu #GuruBesar Theology Melanesia Tuan Sem Karoba!

Sem Karoba: penulis 3 jilid buku Demokrasi Kesukuan, 3 seri laporan HAM dalam Papua Menggugat, dan beberapa karya penting lain tentang Papua dan perjuangannya.

Selain aktivitas produktif dalam menulis, Sem juga terlibat dalam mendorong agenda perjuagan rakyat Papua terutama Deklarasi TRWP sebagai salah satu sayap militer perjuagan bersenjata dibawah klaim Matias Wenda. Disamping itu juga mendorong individu-individu di ULMWP untuk menjadikan ULMWP sebagai wadah setengah negara atau semi Negara.

Dari karya-karya Sem, bukunya yang paling kontroversi di kalangan gerakan adalah Demokrasi kesukuan. Dalam perdebatanya, buku ini pernah disebut-sebut dan akan dijadikan sebagai ideologi negara West Papua.

Dalam perspektif sosialisme, buku Demokrasi Kesukuan tentu adalah karya penting untuk harus diuji secara ilmiah dan objektif. Ini penting untuk melihat karakter-karakter corak politik dan demokrasi masyarakat tradisional Papua, seperti yang dijelaskan Sem.

Ini adalah karya-karya penting orang Papua yang ditulis dari perspektif Papua. Juga semua karya-karya orang Papua yang harus dikaji dari sistem: ekonomi, politik, pertanian, kepercayaan, dsb.

Marxisme menjadi bagian penting untuk harus berusaha menyesuaikan dan menguji karya-karya ini. Ini penting untuk diuji dan dijadikan sebagai ideologi Sosialisme Papua dan dijadikan sebagai ideologi gerakan untuk rebut revolusi nasional demokratik dan revolusi sosialis di Papua

Hidup rakyat!

Ini adalah foto Sem Karoba

Pemuda adat khawatir keberlangsungan warga asli Port Numbay

Jayapura, Jubi – Ketua Pemuda Adat Port Numbay, Kota Jayapura, Rudi Mebri, khawatir akan keberlangsungan suku-suku asli di ibu kota Provinsi Papua itu.

Ia mengatakan hasil penelitian pihaknya bersama Yayasan Konsultasi Independen Rakyat (KIPRA) Papua pada 2014 silam, populasi orang Port Numbay hanya sebanyak 9.456 jiwa.

Menurutnya, jumlah ini sudah termasuk orang Port Numbay yang berada di daerah lain di Papua, di luar Papua, dan beberapa negara.

“Orang Port Numbay di Kota Jayapura, khusus di 25 kelurahan dan 14 kampung, ada sekitar enam ribu lebih, dan yang berada di daerah lain ada sekitar tiga ribu lebih,” kata Rudi Mebri kepada Jubi, Selasa (29/6/2021).

Katanya, diprediksi 25 tahun mendatang orang asli Port Numbay akan semakin minoritas. Jumlah mereka dalam setiap kampung diperkirakan hanya akan berkisar lima orang.

“[Begitu juga dalam berbagai posisi], posisi pemerintahan kah, swasta kah, maupun apapun, hanya lima dan itu sangat sulit [bagi kami],” ujarnya.

Mebri berpendapat mesti segera ada upaya memproteksi keberlangsungan orang asli Port Numbay. Upaya proteksi ini ada pada kepala daerah.

Katanya, kepala daerah mesti mengambil kebijakan ekstrim menjaga populasi warga asli Kota Jayapura.

“Sepanjang tidak menggunakan kebijakan ekstrim itu, sangat sulit untuk menterjemahkannya, karena belum tentu OPD-OPD di bawah ini akan melaksanakan apa yang dia (kepala daerah) sampaikan,” ucapnya.

Baca juga: 110 tahun Kota Jayapura, quo vadis orang Port Numbay?

Data Yayasan Konsultasi KIPRA Papua menyebutkan 9.594 orang asli Port Numbay pada 2013. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari 3.087 orang yang tinggal di Jayapura, 2.874 di luar Jayapura, dan 3.633 lainnya di 14 kampung.

Lima tahun kemudian atau pada 2018, menurut Data Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) dan Generasi Muda untuk Hak Adat (Gempha), Agustus-Oktober 2018, penduduk asli Port Numbay sebanyak 11.949 dari 293.690 penduduk Kota Jayapura.

Sedangkan penduduk asli Port Numbay dan Papua lainnya sebanyak 95.758 pada 2014, atau hanya 35 persen penduduk asli Papua, termasuk Port Numbay yang hanya 2 persen, dan 169.629 penduduk, termasuk orang asli Port Numbay pada 2014.

Baca juga: Orang Port Numbay makin minoritas

Antropolog Universitas Cenderawasih (Uncen), Andro Lukito, beberapa waktu lalu berpendapat orang Port Numbay mengalami shock culture sejak Perang Dunia II (1942-1945). Sebab sejak itu Jayapura menjadi basis militer Amerika Serikat bersama sekutunya.

Dalam kajian Lukito, orang Tabi (termasuk Port Numbay) merupakan masyarakat semi peramu, semi nelayan, dan semi peladang. Mereka juga termasuk karakter apolonia jika merujuk antropolog Benedict.

Karakter apolonia menjadikan orang Tabi suka berdamai, berkelompok, dan memberi ruang kepada kelompok lain (migran), sehingga lama-kelamaan tersingkir.

Menurut Lukito, ondoafi harus diangkat menjadi legislator, entah dewan penasehat atau apapun di legislator, sebagai bentuk penghargaan terhadap pimpinan adat.

“Yang jadi persoalan, kalau mereka tidak dihargai,” kata Lukito ketika itu.

Katanya, pada 1982-1983, mereka sebagian di teluk (Kayu Batu, Kayu Pulau, Dormo) ditransmigrasikan ke Koya pada zaman Barnabas Youwe. Mereka ketika itu, karena karakter apolonia, rela berpindah ke tempat lain hanya karena kebaikan pada orang lain.

Menurutnya, maka dari itu, mereka harus diproteksi, diberdayakan, dan harus ada keberpihakan khusus yang dibuat oleh Kota Jayapura.

“Dia (orang Tabi) bangun hubungan sosial. Ketika terjadi apa-apa mereka (hubungan sosial) yang tolong dia. Safety needs bermain ketika dia sudah membangun social needs,” katanya.

Lukito berpandangan orang Port Numbay harus diperkuat di kampung-kampung, dengan mengangkat identitasnya melalui kebijakan afirmatif dan pendidikan karakter. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Blog at WordPress.com.

Up ↑

Design a site like this with WordPress.com
Get started