Dari nenek-moyang sampai kedatangan para misionaris sebagai pintu kepada penjajahan dan di era penjajahan hari ini, dalam konteks Melanesia, tidak pernah ada Kepala Suku Besar, Kepala Suku Sedang dan Kepala Suku Kecil. Di pegunungan dikenal sistem “Ap Nggok” atau Big Men, di mana para Kepala Suku menjadi pimpinan berdasarkan apa yang mereka telah dan dapat persembahkan atau dedikasikan untuk marga, klen atau suku mereka.Di pesisir dan dataran rendah dikenal sistem kerajaan kecil (ondoafi dan ondofolo), di mana para ondoafi atau ondofolo menjalankan kepemimpinan sebagai raja di dalam klen atau suku atau wilayah kekerabatan yang bersangkutan.
Sementara konsep kepemimpinan piramidal yang menempatkan satu oranf di pucuk sebagai yang besar, yang artinya yang lainnya menjadi yang sedang dan yang kecil ialah konsep yang dipaksakan para penjajah, dalam rangka mengoperasikan interaksi antara para penjajah dengan kepemimpinan Masyarakat Adat (MADAT) di Melanesia dan di berbagai tempat di dunia.
Budaya modern atau pengaruh barat menjangkau kawasan Melanesia setelah mereka telah hidup dalam negara-bangsa, di mana struktur sosial dan organisasi pemerintahan mereka ialah dari atas ke bawah, berhadapan dengan MADAT yang bersifat egaliter, di mana kepemimpinan dijalankan secara kolektif kolegial, dan dalam bentuk piramidal yang sangat terbatas. Melihat itu, mereka berupaya membuat struktur sosial-masyarakat di luar struktur asli yang ada, agar mempermudahkan mereka dalam melakukan deal-deal politik dan ekonomi.
Maka mereka mengangkat banyak raja-raja dan kepala-kepala suku, Dewan Adat di tingkat pemerintahan mereka, dan struktur adat disusun berdasarkan struktur pemerintahan mereka. Dengan pemikiran mereka, maka mereka juga menciptakan raja kecil dan raja besar, kepala suku kecil dan kepala suku besar, kepala suku desa, kepala suku kecamatan, kepala suku kabupaten dan kepala suku provinsi, dan kepala suku nasional. Itulah sebabnya kita sering dengar hari ini, ada orang Papua yang mengaku diri sebagai Kepala Suku Besar.
Entah apanya yang besar merupakan konsep yang masih kabur. “Besar” dari sisi ruang pengakuan, besar dari sisi pengaruhnya, besar dari sisi wilayah administrasi pemerintahan modern atau besar secara politik?
Yang jelas, dalam MADAT Koteka di pegunungan Tengah New Guinea tidak pernah mengenal Kepala Suku Kecil, Kepala Suku Besar dan Kepala Suku Sedang. Tidak pernah dikenal Kepala Suku Desa, Kepala Suku Kabupaten, Kepala Suku Provinsi.
Maka kita harus bertanya kepada diri sendiri, baik sebagai anggota MADAT maupun yang mengaku diri sebagai Kepala Suku Besar ini konsep siapa dan dimunculkan untuk tujuan apa?
Leave a Reply