Design a site like this with WordPress.com
Get started

Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK) Siap Selenggarakan Kongres II dalam Waktu Dekat

Siaran Pers

Embargo sampai tanggal 23 April 2023, 16:00 Waktu West Papua

Setelah dibentuk dalam Kongres I tahun 2000, Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (disingkat DeMMAK) telah bersiap menyelenggarakan Kongress II.

Para penggagas dan pendiri lembaga DeMMAK sebagai wadah koordinasi para Penatua Adat Papua yang telah berkiprah membela hak-hak dasar bangsa Papua di tanah leluhurnya ini telah memutuskan untuk menyelenggarakan Kongress II DeMMAK dalam waktu dekat.

Keputusan ini dikeluarkan dalam Sidang Alam DeMMAK tanggal 23 April 2023, bertempat di tempat lokasi pendirian DeMMAK.

Menurut Jurubicara DeMMAK, Atinus Uaga, S.H., M.H., Kongres II akan diselenggarakan dalam rangka Memetakan Grand Design perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Papua agar menyambut Dua Peraturan Daerah Provinsi No. 5 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Daerah Provinsi No 6 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum untuk Masyarakat Adat di Provinsi Papua yang telah diterbitkan tanggal 24 Oktober 2022.

Masyarakat Adat Papua diundang untuk mengambil langkah memanfaatkan kedua Perdasi dimaksud, dalam rangka memajukan peri kehidupan yang damai dan baradab di atas tanah leluhur Orang Asli Papua (OAP).

Untuk mempersiapkan segala hal, khususnya tenaga, dana, dan daya, maka Jurubicara DeMMAK dengan ini memaklumkan kepada semua makhluk di seluruh pulau New Guinea, untuk memberikan dukungan Doa, Dana dan Daya, sehingga Kongres ini dapat terselenggara dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi tanah leluhur pulau New Guinea secara khusus dan Melanesia pada umumnya.

Port Numbai 23 April 2023, tepat pukul 16:00 Waktu West Papua.

Jurubicara,

Atinus Uaga, S.H., M.H.

Untuk informasi selanjutnya silakan hubungi:

SMS/WA: +62-85817731278 – Email: jubir@koteka.org

RUU Masyarakat Adat Mandek, Kader AMAN Diminta Tinggalkan PDIP dan Golkar

suarapapua.com 1 November 2022

— Rukka Sombolinggi, mantan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat membacakan laporan pertanggung jawaban (Reiner Brabar-SP)
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Rukka Sombolinggi, mantan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyerukan agar kader-kader AMAN meninggalkan Partai Golkar dan PDI pasca mandeknya Rancangan Undang Undang (RUU) masyarakat adat di DPR RI selama satu dekade.

Menurut Rukka, RUU masyarakat adat yang diperjuangkan selama satu dekade ini mendapatkan penolakan dari dua partai politik.

“Golkar dan PDI yang sampai saat masih menolak RUU masyarakat adat,” kata Rukka saat membacakan laporan pertanggung jawaban selama menjadi Sekjen AMAN pada pleno pemilihan pimpinan sidang tetap di Stadion Barnabas Yowe (28/10/2022).

Baca Juga: Sadir Wet Yifi Komitmen Jaga Eksistensi Wilayah Adat Knasaimos
Rukka menjelaskan selama ini Partai politik melihat RUU masyarakat adat sebagai ancaman bagi Pemerintah dan investor sehingga belum juga disahkan. Padahal katanya, persoalan besar yang dihadapi adalah masih terjadinya perampasan wilayah adat dan dilakukan dengan tindakan kekerasan dan terjadi peminggiran hak-hak masyarakat adat.

“RUU yang mangkrak di DPR RI karena dianggap menganggu stabilitas ekonnomi dan membakitkan feodalisme, padahal resim ini yang pergi dan menari dengan kerajaan-kerajaan dan kesultanan. Kita berkongres mereka tidak datang, tapi kenapalah kita yang disalahkan” jelasnya.

Baca Juga: Pemerintah Wajib Menghormati dan Memenuhi Hak Masyarakat Adat di Boven Digoel
Rukka Sombolinggi menerangkan, jika ada perhatian serius dari pemerintah kepada masyarakat adat, maka masyarakat adat membuktikan eksistensinya. Untuk itu Rukka menyerukan agar kader-kader AMAN meninggalkan partai-partai tersebut karena gagal memperjuangkan hak masyarakat adat.

“Sebaiknya kader AMAN mundur dari partai yang menolak RUU masyarakat adat,” ujarnya.

Menanggapi seruan yang disampaikan mantan Sekjen AMAN, Jamal salah peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMA) VI dari Maluku sepakat dan mendukung seruan tersebut. Katanya, jika itu sebuah solusi agar RUU masyarakat adat bisa disahkan secepatnya maka masyarakat adat pasti mendukung.

Baca Juga: Ini Penjelasan Direktur RSUD Dekai Tentang Pelayanan Kesehatan
“Pastinya akan ada pro dan kontra dalam hal ini. Namun jika kita melihat sisi baiknya untuk kepentingan kami masyarakat adat maka wajib didukung oleh seluruh masyarakat adat,” katanya.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Arnold Belau

Dr Peyon: Kepala Suku Besar dalam MADAT Melanesia

Saya pikir apa yang dikritisi oleh Buctar Tabuni ini sangat benar. DAP yang angkat Lukas Enembe sebagai kepala suku besar Papua harus memberikan Indikator kepada publik Papua. Sistem kepemimpinan di Melanesia, setiap klen dan kampung memiliki pemimpin sendiri. Tidak ada kepala suku besar untuk sebuah suku, apalagi 273 suku di Papua. Istilah kepala suku sendiri tidak ada dalam budaya Melanesia, yang ada adalah orang besar (Big Man), sebagaimana yang diberi nama oleh Marshall D. Sahlins tahun 1963, dalam tulisan dengan judul, “Poor Man, Rich Man, Big-Man, Chief: Political Types in Melanesia and Polynesia”. Orang Melanesia sendiri, memiliki istilah yang berbeda tiap suku sesuai bahasa mereka. Istilah kepala suku itu diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia untuk kepentingan PEPERA, dan dimana-dimana seseorang dapat diangkat sebagai kepala suku untuk kepentingan Orde Baru, kekuasaan militer dan kepentingan pendudukan Indonesia.

DAP harus menjelaskan kepada publik dasar pengangkatan Enembe sebagai kepala suku besar Papua. Karena, sejauh ini suku-suku di Papua pun tidak memberikan legitimasi kepada Lukas Enembe sebagai pemimpin besar bangsa, atau kepala suku besar mereka. Orang Papua menghormati dan menghargai LE sebagai gubernur Indonesia di Provinsi Papua, dan diberikan suara untuk jabatan Gubernur, bukan Kepala Suku Besar Papua. Suku-suku di tanah Papua juga tidak memberikan mandat kepada DAP sebagai representasi mereka yang mengangkat seseorang menjadi pemimpin bangsa Papua. DAP dibentuk untuk melindungan dan memperjuangkan kepentingan politik masyarakat adat termasuk LE tetapi tidak diangkat sebagai pemimpin Besar bangsa Papua.

Buchtar Tabuni dan Kepala Suku Besar

Sudah 10 Tahun Lukas Enembe pimpin kabupaten puncak jaya sebagai perpanjangan tangan kolonial NKRI di Puncak.

Berapa banyak masyarakat adat yang di bunuh oleh Militer Kolonial NKRI di Puncak Jaya?

Sudah 10 Tahun Lukas Enembe pimpin provinsi Papua sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah kolonial NKRI.

Berapa banyak masyarakat adat di bunuh oleh Militer Kolonial NKRI?

Apa indikatornya perlindungan terhadap masyarakat adat Papua yang di bunuh oleh Militer Kolonial NKRI selama 20 tahun Lukas Enembe menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial NKRI di Papua sehingga Lukas Enembe di angkat sebagai Kepala suku besar orang Papua?

Sebagai orang Papua kita solidaritas kepada Lukas Enembe tetapi sebagai pejabat Kolonial NKRI yang sedang memperpanjang sistem NKRI di atas kedaulatan Bangsa dan Negara West Papua kita tetap Kritisi

Dalam Budaya Melanesia Tidak Ada Kepala Suku Besar, Kepala Suku Sedang, dan Kepala Suku Kecil

Dari nenek-moyang sampai kedatangan para misionaris sebagai pintu kepada penjajahan dan di era penjajahan hari ini, dalam konteks Melanesia, tidak pernah ada Kepala Suku Besar, Kepala Suku Sedang dan Kepala Suku Kecil. Di pegunungan dikenal sistem “Ap Nggok” atau Big Men, di mana para Kepala Suku menjadi pimpinan berdasarkan apa yang mereka telah dan dapat persembahkan atau dedikasikan untuk marga, klen atau suku mereka.Di pesisir dan dataran rendah dikenal sistem kerajaan kecil (ondoafi dan ondofolo), di mana para ondoafi atau ondofolo menjalankan kepemimpinan sebagai raja di dalam klen atau suku atau wilayah kekerabatan yang bersangkutan.

Sementara konsep kepemimpinan piramidal yang menempatkan satu oranf di pucuk sebagai yang besar, yang artinya yang lainnya menjadi yang sedang dan yang kecil ialah konsep yang dipaksakan para penjajah, dalam rangka mengoperasikan interaksi antara para penjajah dengan kepemimpinan Masyarakat Adat (MADAT) di Melanesia dan di berbagai tempat di dunia.

Budaya modern atau pengaruh barat menjangkau kawasan Melanesia setelah mereka telah hidup dalam negara-bangsa, di mana struktur sosial dan organisasi pemerintahan mereka ialah dari atas ke bawah, berhadapan dengan MADAT yang bersifat egaliter, di mana kepemimpinan dijalankan secara kolektif kolegial, dan dalam bentuk piramidal yang sangat terbatas. Melihat itu, mereka berupaya membuat struktur sosial-masyarakat di luar struktur asli yang ada, agar mempermudahkan mereka dalam melakukan deal-deal politik dan ekonomi.

Maka mereka mengangkat banyak raja-raja dan kepala-kepala suku, Dewan Adat di tingkat pemerintahan mereka, dan struktur adat disusun berdasarkan struktur pemerintahan mereka. Dengan pemikiran mereka, maka mereka juga menciptakan raja kecil dan raja besar, kepala suku kecil dan kepala suku besar, kepala suku desa, kepala suku kecamatan, kepala suku kabupaten dan kepala suku provinsi, dan kepala suku nasional. Itulah sebabnya kita sering dengar hari ini, ada orang Papua yang mengaku diri sebagai Kepala Suku Besar.

Entah apanya yang besar merupakan konsep yang masih kabur. “Besar” dari sisi ruang pengakuan, besar dari sisi pengaruhnya, besar dari sisi wilayah administrasi pemerintahan modern atau besar secara politik?

Yang jelas, dalam MADAT Koteka di pegunungan Tengah New Guinea tidak pernah mengenal Kepala Suku Kecil, Kepala Suku Besar dan Kepala Suku Sedang. Tidak pernah dikenal Kepala Suku Desa, Kepala Suku Kabupaten, Kepala Suku Provinsi.

Maka kita harus bertanya kepada diri sendiri, baik sebagai anggota MADAT maupun yang mengaku diri sebagai Kepala Suku Besar ini konsep siapa dan dimunculkan untuk tujuan apa?

Tiga Hal yang Selalu Disalahpahami tentang DeMMAK

Tiga hal yang selalu disalahpahami publik tentang Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (disingkat DeMMAK): dari sisi organisasi dan kepemimpinan, dari sisi kegiatan dan tugasnya dan dari sisi kiprahnya dalam kehidupan sehari-hari.

Yang pertama, Banyak Orang Berpikir DeMMAK itu organisasi baru dengan Ketua dan Pengurusnya, layaknya organisasi Massa modern

Pandangan ini bukan hanya keliru, dan bukan hanya tidak mengerti, akan tetapi sebuah sesalahan yang fatal, karena DeMMAK bukan sebuah organisasi baru. Ia tidak mendirikan lembaga baru. Ia tidak membentuk kepengurusan baru. Ia tidak membentuk sesuatu yang baru.

Yang DeMMAK lakukan ialah mengkoordinir segala-sesuatu terkait dengan Masyarakat Adat di Melanesia, khususnya Pegunungan Tengah New Guinea. Ia tidak mengorganisir, akan tetapi mengkoordinir organisasi Masyarakat Adat (MADAT) yang sudah ada di antara suku-suku yang secara tradisional mengenakan Koteka sebagai pakaian adatnya.

Konsekuensi logisnya, secara kepengurusan, DeMMAK tidak memiliki Ketua atau Wakil Ketua Ia hanya memiliki Sekretaris-Jenderal. Karena para Kepala Suku dari masing-masing Klen dan Marga ialah para Ketua DeMMAK.

Tugas utama Sekretaris-Jenderal DeMMAK ialah menghadapi berbagai pengaruh dari luar ke dalam kehidupan MADAT dan mengakomordir serta menyuarakan kehendak dari suku-suku dalam koordinasi kerja.

Oleh karena itu, dalam DeMMAK, di antara para Kepala Suku dan Kepala Marga lebih dikenal Tim Kerja DeMMAK, karena yang bekerja ialah sebuah Team, yang terdiri dari para tua-tua adat dari masing-masing marga, klen dan suku.

Pada kepala dari marga, klen dan suku ialah para Ketua DeMMAK, yang jumlahnya tidak terhingga, karena tergantung berapa marga, berapa klen dan berapa suku yang terlibat.

Yang kedua, DeMMAK ialah organisasi basis militer, sebagai pasukan yang mensuplai kebutuhan dan tenaga kepada Tentara West Papua (TPN OPM, WPRA, WPA, TPN PB OPM)

Harus diakui bahwa memang ada tendensi dan ada tarik-menarik di dalam DeMMAK sendiri untuk mengkaitkan angkatan bersenjata dengan DeMMAK. Hal ini terjadi karena dalam tradisi Masyarakat Adat (MADAT) Koteka, para Kepala marga, klen dan suku juga berfungsi sebagai Kepala Perang. Akan tetapi dalam konteks MADAT Koteka Modern, hal itu tidak berlaku lagi sebagai DeMMAK bergerak sebagai gerakan masyarakat akar-rumput yang merevitalisasi sistem dan organisasi serta kepemimpinan MADAT di era modern. Ia tidak terlibat dalam isu-isu politik dan militer modern.

Tidak berarti secara ekslusif mengurus hal-hal sipil, akan tetapi DeMMAK secara formal tidak terkait dan tidak berurusan dengan gerilya atau perang kemerdekaan untuk Papua Merdeka.

Yang Ketiga ialah bahwa DeMMAK merupakan Organisasi Gerakan Politik berbasiskan Suku

Seperti hal kedua di atas, DeMMAK juga tidak berurusan dengan politik modern, dan bukan juga sebuah organisasi politik. Ia merupakan basis masa, basis sosial, yang memperjuangkan hak asasi MADAT Koteka untuk eksis dan diakui sebagai sebuah komunitas manusia pemilik ulayat di pulau New Guinea, yang jumlahkan adalah mayoritas di seluruh kawasan Melanesia.

Sebagai kelompok MADAT terbesar di Melanesia, DeMMAK bertugas untuk mempromosikan identitas, mempertahankan dan bertanggungjawab mewarnai kehidupan sebagai MADAT Melanesia. Untuk itu, DeMMAK harus dibentuk dan bangkit sebagai kelompok MADAT terbesar di Melanesia untuk mewarnai gerakan revitalisasi nilai-nilai, norma, dan system ke-Melanesia-an.

Catatan Akhir

Tiga kesalahan yang terjadi dalam realitas kehidupan selama ini tidak dapat serta-merta disalahkan, karena ada latar-belakang dan latar-samping yang mewarnai terbentuknya opini dan perilaku dan presepsi sedemikain rupa, sehingga baik para pihak yang mengidentifikasi diri sebagai orang DeMMAK mapun mereka yang mempersepsikan DeMMAK sebagai sebuah kekuatan politik yang militeristik, yang mendukung Papua Merdeka di akar tumput.

Maklum saja, apapun yang terjadi di West Papua, termasuk para perwira TNI/ Polri dan pejabat di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota memang selalu dicap sebagai pemberontak, anggota GPL, GPK, OPM, TPN, teroris, dan sebagainya. Itu bukan barang baru. Oleh karena itu, menganggp DeMMAK sebagai organisasi pendukung atau basis perjuangan Papua Merdeka merupakan bias lanjutan dari bias-bias yang telah lama mewarnai dan mengakar dalam kehidupan interksi antara bangsa Papua dengan NKRI atau orang Indonesia.

Kiranya Tuhan Yesus sebagai Terang Dunia menerangi hati dan pikiran kami, sehingga kami memahami dan menerima dan memperlakukan satu-sama lain sesuai dengan apa dan siapa kita masing-masing.

Somalia’s president, prime minister agree to speed up election

By Abdi Sheikh

© Reuters/Feisal Omar FILE PHOTO: Somalia’s President Mohamed Abdullahi Mohamed addresses delegates at the Somali election negotiation in Mogadishu

MOGADISHU (Reuters) – Somalia’s president and prime minister resolved a dispute over appointments to security bodies, allowing a stalled process to elect a new parliament and president to go ahead, the government spokesman said late on Thursday.

Somalia was meant to choose a new president this month, culminating a complicated indirect election process that would also select a parliament.

But that was halted during a dispute between President Mohamed Abdullahi Mohamed and Prime Minister Mohammed Hussein Roble over who would head the National Intelligence Service Agency.

The president and the prime minister had each appointed a different candidate to replace the head of the agency, who was suspended last month after an agent went missing.

Under the agreement, the president’s appointee will now take up the post in an acting capacity, while the man chosen by the prime minister will be given a different role as a state minister. A separate disagreement over who would head the internal security ministry was also resolved, the spokesman said.

© Reuters/FEISAL OMAR Somalia’s Prime Minister Mohamed Hussein Roble attends the Somali election negotiation in Mogadishu

Somalia has had only limited central rule since a dictator was toppled 30 years ago, and has never conducted a free election.

Under the indirect electoral process, regional councils are meant to choose a senate, which could be completed this week. Clan elders will then pick members of a lower house of parliament, now set to take place next month. The parliament will pick a new president at a date that has not yet been set.

Roble and Mohamed clashed in April https://www.reuters.com/world/africa/somalias-political-leaders-sign-agreement-resolving-impasse-out-elections-2021-05-27, when the president unilaterally extended his four-year term by two years, prompting army factions loyal to each man to seize rival positions in the capital, Mogadishu.

The confrontation was resolved when the president put Roble in charge of security and organising the delayed elections.

(Writing by Duncan Miriri; Editing by Peter Graff)

Tetaplah Tersenyum Kepada setiap org yang Membencimu, Karena Mereka akan sadar suatu Waktu

Bangga Memilikimu #GuruBesar Theology Melanesia Tuan Sem Karoba!

Sem Karoba: penulis 3 jilid buku Demokrasi Kesukuan, 3 seri laporan HAM dalam Papua Menggugat, dan beberapa karya penting lain tentang Papua dan perjuangannya.

Selain aktivitas produktif dalam menulis, Sem juga terlibat dalam mendorong agenda perjuagan rakyat Papua terutama Deklarasi TRWP sebagai salah satu sayap militer perjuagan bersenjata dibawah klaim Matias Wenda. Disamping itu juga mendorong individu-individu di ULMWP untuk menjadikan ULMWP sebagai wadah setengah negara atau semi Negara.

Dari karya-karya Sem, bukunya yang paling kontroversi di kalangan gerakan adalah Demokrasi kesukuan. Dalam perdebatanya, buku ini pernah disebut-sebut dan akan dijadikan sebagai ideologi negara West Papua.

Dalam perspektif sosialisme, buku Demokrasi Kesukuan tentu adalah karya penting untuk harus diuji secara ilmiah dan objektif. Ini penting untuk melihat karakter-karakter corak politik dan demokrasi masyarakat tradisional Papua, seperti yang dijelaskan Sem.

Ini adalah karya-karya penting orang Papua yang ditulis dari perspektif Papua. Juga semua karya-karya orang Papua yang harus dikaji dari sistem: ekonomi, politik, pertanian, kepercayaan, dsb.

Marxisme menjadi bagian penting untuk harus berusaha menyesuaikan dan menguji karya-karya ini. Ini penting untuk diuji dan dijadikan sebagai ideologi Sosialisme Papua dan dijadikan sebagai ideologi gerakan untuk rebut revolusi nasional demokratik dan revolusi sosialis di Papua

Hidup rakyat!

Ini adalah foto Sem Karoba

Pemuda adat khawatir keberlangsungan warga asli Port Numbay

Jayapura, Jubi – Ketua Pemuda Adat Port Numbay, Kota Jayapura, Rudi Mebri, khawatir akan keberlangsungan suku-suku asli di ibu kota Provinsi Papua itu.

Ia mengatakan hasil penelitian pihaknya bersama Yayasan Konsultasi Independen Rakyat (KIPRA) Papua pada 2014 silam, populasi orang Port Numbay hanya sebanyak 9.456 jiwa.

Menurutnya, jumlah ini sudah termasuk orang Port Numbay yang berada di daerah lain di Papua, di luar Papua, dan beberapa negara.

“Orang Port Numbay di Kota Jayapura, khusus di 25 kelurahan dan 14 kampung, ada sekitar enam ribu lebih, dan yang berada di daerah lain ada sekitar tiga ribu lebih,” kata Rudi Mebri kepada Jubi, Selasa (29/6/2021).

Katanya, diprediksi 25 tahun mendatang orang asli Port Numbay akan semakin minoritas. Jumlah mereka dalam setiap kampung diperkirakan hanya akan berkisar lima orang.

“[Begitu juga dalam berbagai posisi], posisi pemerintahan kah, swasta kah, maupun apapun, hanya lima dan itu sangat sulit [bagi kami],” ujarnya.

Mebri berpendapat mesti segera ada upaya memproteksi keberlangsungan orang asli Port Numbay. Upaya proteksi ini ada pada kepala daerah.

Katanya, kepala daerah mesti mengambil kebijakan ekstrim menjaga populasi warga asli Kota Jayapura.

“Sepanjang tidak menggunakan kebijakan ekstrim itu, sangat sulit untuk menterjemahkannya, karena belum tentu OPD-OPD di bawah ini akan melaksanakan apa yang dia (kepala daerah) sampaikan,” ucapnya.

Baca juga: 110 tahun Kota Jayapura, quo vadis orang Port Numbay?

Data Yayasan Konsultasi KIPRA Papua menyebutkan 9.594 orang asli Port Numbay pada 2013. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari 3.087 orang yang tinggal di Jayapura, 2.874 di luar Jayapura, dan 3.633 lainnya di 14 kampung.

Lima tahun kemudian atau pada 2018, menurut Data Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) dan Generasi Muda untuk Hak Adat (Gempha), Agustus-Oktober 2018, penduduk asli Port Numbay sebanyak 11.949 dari 293.690 penduduk Kota Jayapura.

Sedangkan penduduk asli Port Numbay dan Papua lainnya sebanyak 95.758 pada 2014, atau hanya 35 persen penduduk asli Papua, termasuk Port Numbay yang hanya 2 persen, dan 169.629 penduduk, termasuk orang asli Port Numbay pada 2014.

Baca juga: Orang Port Numbay makin minoritas

Antropolog Universitas Cenderawasih (Uncen), Andro Lukito, beberapa waktu lalu berpendapat orang Port Numbay mengalami shock culture sejak Perang Dunia II (1942-1945). Sebab sejak itu Jayapura menjadi basis militer Amerika Serikat bersama sekutunya.

Dalam kajian Lukito, orang Tabi (termasuk Port Numbay) merupakan masyarakat semi peramu, semi nelayan, dan semi peladang. Mereka juga termasuk karakter apolonia jika merujuk antropolog Benedict.

Karakter apolonia menjadikan orang Tabi suka berdamai, berkelompok, dan memberi ruang kepada kelompok lain (migran), sehingga lama-kelamaan tersingkir.

Menurut Lukito, ondoafi harus diangkat menjadi legislator, entah dewan penasehat atau apapun di legislator, sebagai bentuk penghargaan terhadap pimpinan adat.

“Yang jadi persoalan, kalau mereka tidak dihargai,” kata Lukito ketika itu.

Katanya, pada 1982-1983, mereka sebagian di teluk (Kayu Batu, Kayu Pulau, Dormo) ditransmigrasikan ke Koya pada zaman Barnabas Youwe. Mereka ketika itu, karena karakter apolonia, rela berpindah ke tempat lain hanya karena kebaikan pada orang lain.

Menurutnya, maka dari itu, mereka harus diproteksi, diberdayakan, dan harus ada keberpihakan khusus yang dibuat oleh Kota Jayapura.

“Dia (orang Tabi) bangun hubungan sosial. Ketika terjadi apa-apa mereka (hubungan sosial) yang tolong dia. Safety needs bermain ketika dia sudah membangun social needs,” katanya.

Lukito berpandangan orang Port Numbay harus diperkuat di kampung-kampung, dengan mengangkat identitasnya melalui kebijakan afirmatif dan pendidikan karakter. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Blog at WordPress.com.

Up ↑