Saya pikir apa yang dikritisi oleh Buctar Tabuni ini sangat benar. DAP yang angkat Lukas Enembe sebagai kepala suku besar Papua harus memberikan Indikator kepada publik Papua. Sistem kepemimpinan di Melanesia, setiap klen dan kampung memiliki pemimpin sendiri. Tidak ada kepala suku besar untuk sebuah suku, apalagi 273 suku di Papua. Istilah kepala suku sendiri tidak ada dalam budaya Melanesia, yang ada adalah orang besar (Big Man), sebagaimana yang diberi nama oleh Marshall D. Sahlins tahun 1963, dalam tulisan dengan judul, “Poor Man, Rich Man, Big-Man, Chief: Political Types in Melanesia and Polynesia”. Orang Melanesia sendiri, memiliki istilah yang berbeda tiap suku sesuai bahasa mereka. Istilah kepala suku itu diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia untuk kepentingan PEPERA, dan dimana-dimana seseorang dapat diangkat sebagai kepala suku untuk kepentingan Orde Baru, kekuasaan militer dan kepentingan pendudukan Indonesia.


DAP harus menjelaskan kepada publik dasar pengangkatan Enembe sebagai kepala suku besar Papua. Karena, sejauh ini suku-suku di Papua pun tidak memberikan legitimasi kepada Lukas Enembe sebagai pemimpin besar bangsa, atau kepala suku besar mereka. Orang Papua menghormati dan menghargai LE sebagai gubernur Indonesia di Provinsi Papua, dan diberikan suara untuk jabatan Gubernur, bukan Kepala Suku Besar Papua. Suku-suku di tanah Papua juga tidak memberikan mandat kepada DAP sebagai representasi mereka yang mengangkat seseorang menjadi pemimpin bangsa Papua. DAP dibentuk untuk melindungan dan memperjuangkan kepentingan politik masyarakat adat termasuk LE tetapi tidak diangkat sebagai pemimpin Besar bangsa Papua.
Leave a Reply